Cinta itu seperti kupu kupu, semakin dikejar semakin dia lari, tapi kalo dibiarkan terbang dia akan datang disaat kamu tidak menginginkannya.cinta dapat membuat kamu bahagia tapi sering juga bikin kamu sedih.

Sabtu, 17 November 2007

Silhouette Kuda Jantan Itu Adalah GOMBLOH

Soedjarwoto Soemarsono, mungkin nama ini tidak terlalu familiar ditelinga kita. Namun bila kita mendengar nama Gombloh, tentu yang seketika terbayang adalah seorang lelaki kerempeng dengan gaya khas kacamata dan topinya. Ya, itulah nama asli Gombloh, lelaki kelahiran Jombang 14 Juli 1948 yang telah meninggal dunia di Surabaya 9 Januari 1988 tentu tidak asing lagi bagi kita terutama generasi 70-80-an. Karya-karya penyanyi Gombloh sangat monumental dan selalu didendangkan di televisi maupun acara seremonial bertema perjuangan. Seperti lagu ‘Kebyar-Kebyar’ yang sekarang menjelma menjadi lagu wajib setelah lagu-lagu perjuangan lainnya.

Kebanyakan orang lebih mengenal Gombloh sebagai penyanyi berpenampilan nyentrik dengan lagu-lagu percintaan nakal dan lucu. Seperti lagu ‘Di Radio’ maupun ‘Apel’ yang pada masanya menjadi top hits dan seakan menjadi lagu resmi bagi pasangan yang patah hati. Gombloh juga menciptakan idiom singkat pada sebuah lagu dengan judul ‘Lepen’ (lelucon pendek) yang begitu terkenal dan menjadi populer di masyarakat bahkan hingga saat ini masih sering terdengar, yaitu “kalau cinta sudah melekat, tai kucing rasa coklat”. Gombloh sudah lama tiada namun karyanya masih merdu didengar dan masih menarik untuk dipelajari.

Tidak banyak yang saya ketahui tentang Gombloh. Referensi yang didapatkan tentang penyanyi yang satu ini sangat minim. Yang paling teringat adalah semasa saya kecil di suatu sore saat orang tua suka mengajak jalan-jalan dengan motor keliling sekitar daerah tempat tinggalku. Saat itu terlihat seorang lelaki berambut panjang dikuncir dan bertopi hitam, sedang duduk-duduk bersama beberapa orang di teras sebuah depot. Kata orang tua saya lelaki itu Gombloh. Saat itu saya tidak mengerti apa yang dijelaskan, namun wajah lelaki itu terus terbayang. Dan ketika lagu ‘Di Radio’ menjadi heboh, barulah saya menyadari ternyata penyanyi lagu itu adalah lelaki yang pernah saya lihat beberapa tahun yang lalu.

Dan momen yang sampai saat ini masih jelas terbayang adalah saat Gombloh meninggal dunia pada tahun 1988. Saya menyaksikan begitu banyak sepeda motor dan mobil yang beriringan memadati jalanan di sekitar rumah. Saat itu yang saya dengar dari orang-orang yang ikut berdiri menyaksikan ditepi jalan, rombongan itu sedang mengantarkan jenazah Gombloh ke tempat peristirahatan terakhirnya. Saya baru sadar bahwa penyanyi yang saat itu baru mulai saya gemari lagu-lagunya telah tiada.

Sekian tahun saya melewatinya dan sering cuma mendengar lagu- lagu bertema perjuangan dari Gombloh seperti ‘Kebyar-Kebyar’ ditelevisi dan radio. Hanya lagu itu dan beberapa lagu percintaan nakal yang saya ketahui dari karya Gombloh, saya sama sekali tidak mengenal karya-karyanya yang lain. Ketika suatu hari seorang teman meminjamkan kaset hasil rekaman tanpa cover yang katanya adalah album Gombloh yang berbahasa Jawa. Pertama kali mendengarkannya terasa cukup asing. Musik yang aneh menurut saya yang saat itu sedang tergila-gila dengan Scorpions. Cukup memutar satu sisi dan mendengarkan sambil lalu, kemudian kaset itu saya letakkan begitu saja. Membosankan menurut saya apalagi bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa yang meskipun saya lahir dan besar di Surabaya, namun sama sekali tidak mengerti artinya. Lagu dalam kaset itu terasa malah mirip lagu-lagu daerah. (belakangan saya ketahui kaset itu adalah album Sekar Mayang).

Selang beberapa tahun hingga suatu hari datang lagi seorang teman yang membawakan sekumpulan CD berisi mp3 lagu-lagu Gombloh. Tentu saja yang pertama kali saya dengarkan dan copy di komputer adalah lagu-lagu hitsnya sekedar mengenang memori manis saat itu. Adanya waktu luang membuat saya penasaran dengan lagu-lagu yang lain. Rasa penasaran saya semakin memuncak ketika mengamati lagu-lagu lamanya kok terasa tidak asing lagi. Saat itu saya sedang asik mendengarkan lagu-lagu dari Shadow Gallery juga Pain Of Salvation, yang sekarang puluhan koleksi cd progressive rock barat milik saya yang belum sempat dinikmati sepuasnya telah hilang melayang di bagasi pesawat. Ya, sepertinya lagu-lagu Gombloh dari album-album lamanya lebih terasa sebagai art songs. Banyak yang mengarah ke progressive rock asli Indonesia. Dengan gaya khas tahun 70-an, Gombloh bersama grup Lemon Tree’s sudah menerapkan seni bermusik tingkat tinggi yang mungkin saat itu hanya dilirik sebelah mata.

Ketika di tahun 2007 ini saya mengumpulkan dan memutar lagi lagu-lagu lamanya meski bukan dari kaset aslinya, barulah saya berpikir, luar biasa!. Lagu-lagu Gombloh saya katakan adalah karya seni tingkat tinggi yang mungkin saat ini tidak ada lagi yang bisa menyamainya. Saya coba membandingkan dengan lagu-lagunya God Bless. Ada sedikit kesamaan gaya disitu, hanya God Bless lebih nge-rock dan terkesan modern.

Lagu-lagu Gombloh dari album lamanya saat ini saya rasakan begitu indah begitu nyeni. Musiknya istimewa, begitu juga liriknya yang penuh permainan kata-kata tingkat tinggi yang sampai saat ini saya cukup kesulitan memahaminya. Bahkan seorang Iwan Fals menurut saya kalah jauh dari kejeniusan Gombloh dalam hal lirik. Dibandingkan album-album terakhirnya yang begitu pop dan sarat unsur komersialnya, album-album awalnya benar-benar hebat dan sungguh menunjukkan bahwa unsur seni yang diterapkan sangat berkelas tidak asal enak didengar, mengagumkan!. Saya baru menyadari bahwa di tahun 70-an sudah ada musisi yang berani menerapkan gaya art-rock pada lagu-lagunya yang pada saat itu tentu tidak bakalan laku.

Banyak lagu yang membuat saya terpukau dan terkagum-kagum, diantaranya adalah ‘Tetralogi Fallot’, ‘Hong Wilaheng’ dan ‘3600 detik’. Begitu juga lagu ‘Ujung Kulon Baluran’ yang durasinya lumayan panjang 7 menit lebih sungguh memuaskan telinga saya walaupun lagu-lagu itu sudah berusia 25 tahun lebih. Meskipun lagu yang menjadi terkenal adalah lagu-lagu pop bertema percintaan, saya mengapresiasinya dengan biasa saja. Justru karya-karya pada album awalnya yang terasa jelas memiliki nilai seni yang tinggi pada musik dan lirik. Dan ini adalah ciri khas Gombloh sebelum dunia industri musik mempengaruhi gaya pada album-album terakhirnya. Tidak salah apabila beberapa lagunya seperti ‘Hong Wilaheng’ dan ‘Kebyar-Kebyar’ menjadi obyek penelitian yang menarik oleh pengamat musik di Amerika. Dan para pengamat musik itu ternyata kesulitan untuk menentukan genre kedua lagu tersebut. Bukti bahwa Gombloh tidak sekedar membuat lagu dan dinyanyikan, tapi entah sadar atau tidak nyatanya dia telah menciptakan karya seni tingkat dunia!. Lagu-lagu itu kini diabadikan dalam sebuah museum musik di Amerika Serikat.

Gombloh memang telah tiada, dan rasanya butuh waktu sekian tahun untuk kembali mengingatkan pada dunia musik Indonesia bahwa karya-karyanya sungguh luar biasa. Saya termasuk ketinggalan dalam mengamati kualitas lagu-lagu Gombloh. Bahkan ketika beberapa tahun yang lalu menjumpai patung dirinya dari perunggu seberat 200 kilogram terpajang di Taman Hiburan Rakyat Surabaya yang sekarang disulap menjadi Hi-Tech Mall, saya masih menganggap dia hanyalah penyanyi lagu-lagu cinta biasa yang kebetulan hidup di Surabaya, sehingga sekedar sebuah penghargaan baginya untuk dibuat patung. Ternyata anggapan itu sekarang sirna. Gombloh memang pantas dikenang sebagai musisi yang hebat. Sikap idealis seorang Gombloh saya acungi jempol. Saat namanya melambung tinggi berkat kesuksesan lagu ‘Di Radio’, Gombloh tidak tergiur untuk hijrah ke ibu kota seperti yang dilakukan oleh kebanyakan musisi. Dia masih bangga dengan komunitasnya di Surabaya, dia masih cinta dengan tanah yang membesarkannya. Maka rekaman selanjutnya dia tetap melakukan di Surabaya di kawasan Tunjungan. Gombloh seperti ingin membuktikan pada Indonesia bahwa kesuksesan dan ketenaran bukan hanya bisa didapat di Jakarta.

Gombloh menjadi istimewa bagi saya saat ini ketika banyak bermunculan lagu-lagu baru baik dari penyanyi maupun grup band baru yang terkesan asal enak didengar dan tidak terlalu peduli dimana letak seni bermusik yang berkelas. Mungkin karya Dewa 19 akhir-akhir ini agak bisa mewakili unsur seni musik yang berkelas, tapi kok terkesan memaksakan dan tidak lepas hanya bermodal popularitas dan fasilitas. Saya rindu karya musik yang idealis tidak terlalu disetir oleh industri. Lebih bebas dan lepas, lebih kreatif tidak terikat aturan pemilik modal. Aku rindu insan musik seperti era 70-80an yang rasanya lebih mengutamakan kualitas dibandingkan nilai jual atau sekedar mencari popularitas. Yah, dunia berubah, namun apakah yang baik tidak perlu ditingkatkan menjadi lebih baik. Mengapa musik-musik sekarang menjadi datar dan berjalan ditempat seperti tidak menemukan arah tujuan.

Sedikit mengingat bahwa dimasa lalu kita sudah mempunyai individu-individu yang luar biasa seperti Gombloh. Terima kasih kepada almarhum dan orang-orang terdekatnya yang telah memberi nilai keindahan dunia musik Indonesia. Memang Gombloh sudah lama tiada, namun karya-karyanya selalu dikenang. Seperti salah satu judul lagunya ‘Silhouette Kuda Jantan’, Gombloh perlambang keberanian dan penggebrak sejarah seni musik Indonesia meskipun awalnya dia tidak begitu dikenal luas, bersolo karir yang menjadikannya sangat populer dan pada akhirnya menyerah pada industri. (sb)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

wah suka sama gombloh ya? ko postingannya banyak gombloh.
wah, kita sama dong. aku juga ngefans sama dia. boleh kenal?
aq gusti dari ITS.