Cinta itu seperti kupu kupu, semakin dikejar semakin dia lari, tapi kalo dibiarkan terbang dia akan datang disaat kamu tidak menginginkannya.cinta dapat membuat kamu bahagia tapi sering juga bikin kamu sedih.

Sabtu, 17 November 2007

Gombloh Masuk Museum USA

gombloh69Biodata Singkat :


- Nama Lengkap : Sujarwoto alias Gombloh
- Tempat Tanggal Lahir : Jombang, 14 Juli 1948
- Wafat : Surabaya, 9 Januari 1988
- Pendidikan : SMAN 5 Surabaya, ITS Jurusan Arsitektur [ tidak tamat]
- Orang tua : Slamet dan Tatoekah
- Kekerabatan : Anak ke-4 dari enam saudara (Anwar Sujono, Siti Alifah, Askur Prayitno, Sujarwoto alias Gombloh, dr Sujari, Sujarwati)
- Alamat : Kebangsren I/48 Surabaya


Almarhum Sujarwoto yang lebih populer dengan sapaan Gombloh merupakan anak ke-4 dari enam bersaudara pasangan suami-istri Slamet dan Tatoekah. Pak Slamet bekerja sebagai pedagang ayam di Pasar Genteng, Surabaya. Setiap hari Slamet dengan tekun menjual ayam-ayam potong di pasar tradisional dalam kota tersebut.
Hasil berjualan ayam cukup lumayan untuk membiayai hidup keluarga. Bagi Pak Slamet, keenam anaknya harus bisa sekolah, setinggi mungkin, agar kelak bisa menjadi manusia yang punya masa depan cerah. “Bapak tidak ingin anak-anaknya punya pendidikan pas-pasan kayak beliau,” cerita Sujarwati, anak bungsu, yang paling dekat dengan almarhum Gombloh.


Alhamdulillah, semua anak Pak Slamet ternyata dikaruniai kemampuan inteligensia di atas rata-rata. Tak heran, mereka semua bisa menempuh pendidikan di sekolah favorit atau unggulan di Surabaya pada masa itu. SMA Kompleks, yang favorit itu, bisa ditembus anak-anak Pak Slamet dengan mudah. Bagaimana dengan Sujarwoto alias Gombloh? “Wah, dia itu otaknya encer sekali,” tutur Sujarwati. Maka, bisa dipahami Gombloh masuk SMAN 5 Surabaya dan lulus dengan nilai bagus.


Lulus SMAN 5, darah seni Gombloh yang selama bertahun-tahun dipendam tak bisa dibendung lagi. Pria kelahiran 14 Juli 1948 di Jombang ini tampaknya lebih memilih menjadi manusia bebas ketimbang harus kuliah seperti tiga kakaknya. Tapi, menurut Sujarwati, sang ayah tetap ingin anaknya itu kuliah demi masa depannya di kemudian hari. Asal tahu saja, profesi seniman (penyanyi, pelukis, penari) dulu masih dianggap aneh oleh masyarakat. Seniman identik dengan pengamen yang tak punya masa depan.
Apa boleh buat, Gombloh pun terpaksa mendaftar ke Institut Teknologi 10 November (ITS) Surabaya yang bergengsi itu. Berbeda dengan remaja lain, Gombloh tidak pernah ikut bimbingan tes, latihan soal, atau belajar. “Gombloh kok disuruh belajar,” kata Sujarwati seraya tertawa kecil. Menurut si bungsu ini, Gombloh hanya melihat buku sepintas kilas--karena terus diawasi oleh ayahnya--pada menjelang ujian masuk di ITS. Hasilnya, Gombloh ternyata lulus, diterima di kampus ITS. Pak Slamet tentu senang, karena ini berarti anak-anaknya masuk perguruan tinggi bergengsi (kakak-kakak Gombloh lebih dulu kuliah di Universitas Airlangga). Dan, seperti di SD hingga SMA dulu, Pak Slamet tetap mengawasi anak-anak belajar pada malam hari sebelum tidur. “Semua harus belajar. Bapak sendiri baca cerita silat Kho Ping Hoo,” tutur Sujarwati yang kini tinggal di kawasan Tanjung Perak, Surabaya.


Namanya juga tak punya niat kuliah di ITS, ‘kenakalan’ Gombloh makin menjadi. Dia sering bermain sandiwara untuk mengelabui Pak Slamet, ayahnya, seakan-akan dia berangkat kuliah di ITS, Sukolilo. Ternyata, sekitar pukul 10:00 WIB Gombloh kembali lagi ke rumah, dan tidur. Ulah Gombloh ini akhirnya ketahuan setelah Pak Slamet mendapat kiriman surat dari ITS. Di situ disebutkan bahwa Gombloh sudah terlalu banyak bolos kuliah, sehingga dapat peringatan keras.
Di saat itulah Gombloh ‘menghilang’ ke Bali untuk mengarungi petualangan sebagai seniman. Disiplin ketat, kuliah teratur, dapat titel dan pekerjaan bagus... ternyata tidak cocok untuk jiwa seorang Gombloh. Ia harus drop out (DO) di ITS hanya dalam satu semester.


Gombloh akhirnya menemukan dunianya yang asyik: main musik, jadi seniman bebas. Nama dan kiprahnya mulai dikenal di mana-mana. Bagaimana reaksi sang ayah, Pak Slamet? Biasa-biasa saja.


“Bapak tetap ingin anaknya kuliah, agar masa depannya lebih baik. Seniman itu apalah,” kata Sujarwati. Sementara itu, adik Gombloh bernama Sujari sudah lulus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, sesuai dengan keinginan orang tua. Masa, Gombloh tidak ingin mengikuti saudara-saudaranya yang sudah sukses? Tapi dunia kesenian sudah sedemikian merasuki jiwa Gombloh.


Rekaman demi rekaman, manggung dari hotel ke hotel, ngamen sana-sini, pun dilakoni Gombloh alias Sujarwoto. Hasilnya lumayan. Gombloh sudah bisa mencari uang sendiri kendati dalam beberapa kesempatan ia masih minta uang pada saudaranya. Bukankah Gombloh sudah mendapat bayaran yang lumayan sebagai penyanyi? Menurut Sujarwati, kakak kandungnya ini termasuk orang yang royal, suka menolong siapa saja tanpa pamrih, sehingga uangnya cepat habis. Ulahnya sering kali menggelikan dan bikin saudara-saudaranya geleng kepala.


Suatu ketika, cerita Sujarwati, Gombloh tiba-tiba menelepon dari Kalimantan. “Saya sakit keras, diopname di rumah sakit. Tolong segera kirim uang, tapi tidak perlu ke Kalimantan,” kata si Gombloh. Keluarga di Surabaya pun kalang-kabut. Mereka pun urunan mengirim uang ke Kalimantan. Eh, uang itu ternyata dipakai untuk membiayai teman-temannya ke Surabaya. “Dia ikut ke Surabaya karena memang nggak sakit,” cerita Sujarwati.


Di balik ‘kenakalannya’, Gombloh sangat mengasihi orang tua, khususnya Bu Tatoekah, sang ibunda. Gombloh pernah mengatakan bahwa ia akan mengurus sang ibu sampai tua hingga meninggal dunia. Benar saja. Ketika albumnya meledak di pasaran, Bu Tatoekah sakit keras sehingga harus dirawat di rumah sakit. Gombloh menginstruksikan agar sang ibu dirawat di rumah sakit terbaik, kelas VIP. “Ibu tidak boleh menderita. Saya yang tanggung semua biaya rumah sakit,” kata Gombloh. Begitulah, dedikasi Gombloh untuk ibunya memang luar biasa, sampai Bu Tatoekah meninggal dunia.






gombGombloh telah tiada, namun kenangan manis dan pahit tentang sang seniman tak akan pernah hilang. Dan, kenangan itu kian membekas karena belakangan karya-karya Gombloh yang legendaris itu membuat saudara mereka mendapat berbagai penghargaan. Tahun 2005 saja, Sujarwati diundang dua kali ke Jakarta untuk menerima penghargaan sebagai wakil (ahli waris) Gombloh.


“Saya sangat terharu,” ujar Sujarwati. Karya-karya Gombloh pun beroleh royalti, dan itu bisa dinikmati oleh keluarganya. “Bagi kami, royalti dari karya Mas Gombloh itu untuk diamalkan. Kalau ada keluarga yang paling membutuhkan, ya, dikasihkan ke dia,” kata Sujarwati.


KEBYAR-KEBYAR


Indonesia, merah darahku, putih tulangku
bersatu dalam semangatmu!
Indonesia, debar jantungku getar nadiku
berbaur dalang angan-anganmu
kebyar-kebyar pelangi jingga....
Indonesia, nada laguku, simfoni berteduh
selaras dengan simfonimu
kebyar-kebyar pelangi jingga....


[Biarpun bumi berguncang kau tetap Indonesiaku.
Andaikan matahari terbit dari barat, kau pun Indonesiaku.
Tak sebilah pedang yang tajam dapat palingkan aku darimu.]


Kusingsingkan lengan, rawe-rawe rantas
malang-malang tuntas denganmu.


- Kebyar-Kebyar karya Gombloh -



Sabtu, 4 Maret 2006. Malam minggu itu ada hiburan segar bagi bangsa Indonesia. Masyarakat, khususnya penggemar olahraga tinju, ramai-ramai memelototi televisi, stasiun Indosiar. Yah, Chris John, petinju kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, 14 September 1979, itu akan mempertahankan gelar juara dunia kelas bulu WBA melawan Juan Miguel Marquez, petinju asal Meksiko.


Marquez jelas bukan petinju ayam sayur. Pada 2003 Marquez berhasil menyatukan gelar juara dunia IBF dan WBA hanya dalam waktu sembilan bulan. Namun, gelar bergengsi itu dicopot dari tangan Marquez karena petinju bergaya bokser ini sering berulah. Tak heran, media massa di tanah air umumnya menjagokan Marquez.
Tapi cerita di atas ring tinju lain sama sekali. Chris John bertarung apik, dan akhirnya menang angka mutlak. Masyarakat Indonesia yang masih diliputi berbagai kemelut, untuk sementara, melupakan perbedaan. Lagu ‘Indonesia Raya’ terdengar mengiringi penyematan sabuk juara dunia untuk Chris John.


Kebetulan Chris ini disokong Extra Joss sebagai sponsor utama. Maka, tak ayal, kemenangan Chris ini menjadi bahan iklan minuman suplemen terkenal itu. Selain cuplikan pertandingan Chris di Tenggarong, Kutai Kartanegara, lagu ‘Kebyar-Kebyar’ menambah kesan heroik di iklan Extra Joss tadi.


“Indonesia merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangatmu.....” Lagu ini dibawakan dengan lantang oleh almarhum Gombloh, sang pencipta ‘Kebyar-Kebyar’. Mereka yang belum pernah melihat sosok Gombloh mungkin tak akan percaya kalau seniman asal Surabaya ini bertubuh kerempeng, bahkan superkerempeng.






Yah, Gombloh memang telah meninggalkan kita semua sejak 1988 lalu. Namun, almarhum mewarisi lagu ‘Kebyar-Kebyar’ sebagai pusaka berharga bukan hanya bagi warga Surabaya atau Jawa Timur, melainkan seluruh bangsa Indonesia. Lagu ‘Kebyar-Kebyar’ belakangan bahkan dibanding-bandingkan dengan ‘Indonesia Raya’, national anthem karya WR Supratman, seniman pejuang yang dimakamkan di Surabaya. Ada yang bilang ‘Kebyar-Kebyar’ lebih heroik ketimbang ‘Indonesia Raya’.


Karena itu, tak berlebihan kalau musikus legendaris asal Surabaya itu menerima penghargaan ‘Nugraha Bhakti Musik Indonesia’ pada puncak Hari Musik Indonesia III di Jakarta, 30 Maret 2005. menurut Iga Mawarni, Humas Persatuan Artis, Penyanyi, Pencipta Lagu, dan Penata Musik Rekaman Indonesia (PAPPRI), ada 10 musikus yang menerima penghargaan bergengsi itu. Para penerima ‘Nugraha Bhakti Musik Indonesia’ pada 2005 itu adalah Gombloh (alm), A Malik BZ (tokoh musik Melayu yang tinggal di Kureksari, Waru, Sidoarjo), Ki Narto Sabdo (alm), Harry Roesli (alm), Pupuk Norobe (penemu sasando), Agusli Taher (seniman tradisi Sumatera Barat), Kristian Tamaela (seniman tradisi Maluku), Khori Ali (seniman tradisi Sumatera Selatan), Nelwan Katuu (pengembang musik Kolintang asal Sulawesi Utara), dan Buya Han (seniman tradisi Maluku).


“Siapa sih yang nggak kenal Gombloh. Beliau itu pencipta lagu ‘Kebyar-Kebyar’ yang sudah dianggap sebagai lagu kebangsaan kedua setelah ‘Indonesia Raya’,” ujar Iga Mawarni yang dikenal sebagai penyanyi bernuansa jazz (jazzy) itu. Saat menentukan nominee, cerita Iga, praktis nama Gombloh langsung diterima oleh panitia Hari Musik Indonesia III. Tak ada debat, apalagi perlawanan, karena nama Gombloh, berikut karya-karyanya memang sangat dikenal masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Ini tentu berbeda dengan sejumlah seniman tradisi yang hanya dikenal di komunitas daerah tertentu. “Almarhum Gombloh itu sudah menjadi milik Indonesia. Jadi, bukan sekadar milik masyarakat Surabaya,” tegas Iga Mawarni saat melakukan sosialisasi Hari Musik Indonesia--yang jatuh pada 9 Maret, bertepatan dengan hari lahir komponis WR Supratman--di Surabaya, awal Maret 2005.






l_22546Sebagi penyanyi sekaligus penulis lagu, Gombloh boleh dibilang cukup produktif. Ini dibuktikan dari delapan album yang ia rekam bersama Nirwana Record, Surabaya. Lagu-lagu karya Cak Gombloh rata-rata ‘slengekan’, spontan, ceplas-ceplos, liriknya banyak yang nakal alias urakan, tapi sangat merakyat. “Dia benar-benar mewakili watak arek Suroboyo. Polos, apa adanya, semuanya keluar begitu saja dari hatinya. Tapi hatinya sangat baik,” kata Pardi Artin, gitaris dan salah satu teman main band almarhum Gombloh, yang tinggal di kawasan Kedungrukem, Surabaya.


Selain ‘Kebyar-Kebyar’ yang terkenal itu, lagu-lagu Gombloh yang dikenal publik musik Indonesia antara lain Kugadaikan Cintaku, Apel, Di Angan-Angan, Setengah Gila, Selamat Pagi Kotaku, Karena Iseng, Percayalah Cintaku Tetap Hangat, Gila, Semakin Gila, Sumirah, Okelah, Arjuna Cari Cinta, Hey Kamu, Berita Cuaca, Tari Kejang, Lepen, Skala, Konsumsi Cinta, Hong Wila Heng. Sebanyak 20 lagu terpopuler mendiang Gombloh ini terdokumentasi cukup rapi di album khusus berdurasi 90 menit (C-90) produksi Nirwana Record.


Dari judul-judul, apalagi lirik-lirik khasnya, rasanya sulit dipercaya kalau Gombloh masih sempat-sempatnya menulis lagu ‘Kebyar-Kebyar’ yang sangat heroik itu. Sebuah lagu yang nuansanya jauh berbeda dengan karya-karya lain. “Saya juga heran, kok beliau bisa membuat lagu sehebat itu,” ujar Pardi. Sahabat akrab Gombloh ini belakangan membuat band khusus yang membawakan lagu-lagu tempo doeloe, khususnya lagu-lagu Gombloh dengan Lemon’s Tree-nya. “Dari segi komposisi, Kebyar-Kebyar itu sebetulnya biasa saja. Tapi nuansa heroiknya itu yang sangat terasa. Kalau memainkan lagu itu, rasanya kita larut dalam semangat heroik, seperti maksud Cak Gombloh,” tambah Toni Suwanto, drummer asli Surabaya, yang juga teman dekat almarhum Gombloh.


Baik Toni Suwanto, Pardi Artin, Rokhim, serta beberapa musisi sahabat dekat Gombloh mengaku tak pernah menyangka kalau lagu Kebyar-Kebyar menjadi begitu populer, apalagi dianggap sebagai ‘lagu kebangsaan’ tidak resmi. Gombloh sendiri pun tidak. Sebagai musisi kampung--begitu para seniman Surabaya ini menamakan dirinya--mereka hanya ‘mengamen’ dari kampung ke kampung, hotel ke hotel, atau panggung satu ke panggung lainnya. Gombloh tidak punya pretensi macam-macam, selain menjadi diri sendiri. Menurut Pardi, sejak dulu Gombloh memang sudah berani tampil beda, dengan identitas dan karakter yang kuat. Rambut panjang, kacamata, topi, jaket.... Koleksi topi dan kacamata Gombloh cukup banyak kendati harganya, ya, biasa saja: khas koleksi orang kampung. “Sederhana banget kayak kita-kita ini. Ketika namanya melambung di tanah air pun gayanya tidak berubah,” kata Rokhim, pemain bass yang pernah menemani Gombloh ‘ngamen’ dari hotel ke hotel di Bali pada awal 1970-an. Gombloh itu, kenang sehabat-sehabatnya, adalah trend setter, pencipta tren, bukan pengikut tren atau korban mode.


Gombloh, kendati sudah eksis di Kota Surabaya bersama band Lemon’s Tree, sebetulnya kurang dikenal di belantika musik nasional. Bisa dipahami karena itu tadi, karya-karya Gombloh, cenderung slengekan, sarat kritik sosial, dan itu bukan mainstream dalam industri musik pop Indonesia saat itu. Entah dapat ilham dari mana, pada 1986 Gombloh menulis lagu Kugadaikan Cintaku. Ceritanya tentang kekecewaan seorang pemuda ketika memergoki pacarnya sedang bercumbu dengan pria lain saat apel malam Minggu. Apa boleh buat, si pria itu (Gombloh?) akhirnya ‘menggadaikan cintanya’. Lagu jenaka ini benar-benar meledak. “Setelah Di Radio itu nama Gombloh benar-benar melambung. Rezekinya mengalir deras karena kaset Di Radio laku keras,” tutur Pardi Artun.


Toh, Gombloh tetaplah Gombloh, arek Suroboyo yang sederhana, tidak lupa daratan dengan popularitas yang melambung. Ketika ditawari hijrah ke Jakarta--agar bisa lebih terkenal lagi--Gombloh bergeming. Ia tak ingin didikte oleh cukong-cukong industri musik di Glodok, Jakarta. “Saya kan orang Surabaya. Saya tidak boleh meninggalkan Surabaya karena saya komunitas saya di Surabaya,” ujar Gombloh seperti ditirukan teman-teman dekatnya. Maka, rekaman selanjutnya tetapia lakukan di Surabaya, tepatnya di dekat kawasan Tunjungan.


Ada yang menarik. Ketika berproses di studio rekaman, para sahabat Gombloh dari lingkungan ‘marginal’ seperti pekerja seks di Gang Dolly dan sekitarnya ikut menyaksikan. Gombloh ibaratnya mendapat suntikan semangat dari sekian banyak PSK itu. Kenapa PSK? “Dia dekat sekali dengan mereka. Ketika PSK dilecehkan masyarakat, dikejar-kejar, Gombloh justru menyapa mereka. Mungkin, karena itu, ketika Gombloh rekaman, gantian para PSK dari Dolly datang memberikan dukungan,” ujar Pardi Artin, serius.


Sebuah koran di Jawa Tengah mencatat sebuah adegan menarik tentang keakraban antara Gombloh dengan PSK binaannya. “Gombloh itu manusia sangat merdeka. Pencinta rakyat kecil dan membaur dalam kehidupan mereka. Pernah honornya dibelikan ratusan BH, dibagi-bagikan di perkampungan prostitusi. Bayangkan, Gombloh naik becak dengan tumpukan keranjang BH. Dia sibuk melemparkan BH itu satu per satu ke setiap rumah prostitusi,” tulis surat kabar harian tersebut.


Seniman bernama asli SUJARWOTO ini memang murah hati. Ketika berada di puncak karier, rezeki mengalir berkat Kugadaikan Cintaku, Gombloh tidak mau melepaskan diri dari komunitas, teman-teman, serta warga kampungnya. Ia tidak membeli rumah mewah di kawasan real estat yang mulai tumbuh di Surabaya, Jakarta, dan kota-kota besar saat itu. Padahal, kalau mau, Gombloh mudah saja melakukannya. Posisi tawarnya sedang di puncak, sehingga ia bisa meminta rumah gedong, mobil mewah, serta fasilitas lain.


Yang paling berkesan bagi Pardi Artun, dan seniman-seniman Surabaya seangkatan, Gombloh senang mentraktir siapa saja yang ia temukan di kampung. Silakan makan apa saja--bakso, nasi goreng, bakmi, tahu tektek--Gombloh yang bayar. Buat Gombloh, rezeki harus dinikmati bersama, dibagi-bagi kepada teman serta sesama warga kampung. “Sisi ini yang sulit saya lupakan dari Gombloh,” kata Pardi, tetangga dekat Gombloh saat aktif bermusik bersama di Surabaya dan sekitarnya.


Yah, Gombloh memang manusia sangat merdeka. Manajemen artis ala industri musik modern praktis tidak bisa dikenakan untuk seorang Gombloh. Dia senang bebas yang tetap berjiwa ‘wong cilik’, tak bisa keluar dari akarnya sebagai wong kampung. Bukankah Kota Surabaya ini, meminjam istilah Prof Johan Silas, tak lebih dari aglomerasi kampung-kampung? Dan itu membawa konsekuensi bagi Gombloh dan keluarganya. Setelah Gombloh meninggal dunia pada 1988, sang seniman tak meninggalkan harta apa pun selain karya-karya musik serta kisah hidupnya yang eksentrik dan bersahaja. Lahir sebagai orang kampung, bermain musik secara otodidak bersama teman-temannya di kampung, sempat ngetop... akhirnya pergi untuk selamanya ala orang kampung. “Dia memang seniman rakyat,” kata Pardi Artin.


Ada lagi catatan penting dari Pardi Artin. Menurut pemusik serba bisa ini, sejatinya si Gombloh tidak pernah benar-benar sehat. Tubuhnya yang kerempeng sudah dititipi penyakit macam-macam. Ditambah kebiasaan merokok yang sulit dihilangkan, fisik Gombloh setiap hari digerogoti kuman-kuman penyakit tersebut. “Kalau bicara atau bersin, sering kali keluar darah. Dan itu sudah sangat lama,” cerita Pardi.


Tapi Gombloh bukan tipe manusia yang mudah menyerah pada sakit-penyakit. Daya hidup yang luar biasa ini membuat Gombloh mampu memperpanjang masa baktinya di dunia. “Itu semua karena anugerah dari Allah. Sebab, kalau dipikir-pikir dengan logika biasa, melihat kondisi Gombloh seperti itu, kok dia bisa kuat? Dia main musik, menciptakan lagu, semua dalam kondisi yang tidak sehat-walafiat. Ini luar biasa,” kata Pardi dengan mata berkaca-kaca.






Komunitas Seniman Surabaya, dan warga Surabaya umumnya, sangat kehilangan Gombloh. Seniman sederhana yang dengan lantang, semangat, menyanyikan Kebyar-Kebyar, karyanya sendiri, di nada dasar D. Dengan kunci D, maka nada lagu ini sangat tinggi untuk masyarakat biasa, bahkan penyanyi profesional sekalipun. Orang tentu sulit melupakan almarhum Gombloh.


“Kita baru benar-benar merasakan betapa pentingnya Gombloh setelah beliau meninggal,” kata Djoko Lelono, pelukis dan penggiat seni rupa di Surabaya dan Sidoarjo. Maka, pada 1996 para seniman Surabaya secara spontan membentuk Slidaritas Seniman Surabaya. Seniman apa saja (musik, rupa, tari, teater, tradisi) bersama-sama menggagas even untuk mengenang Gombloh di Surabaya. Ada sejumlah agenda kesenian dalam rangka menjadikan Gombloh sebagai Pahlawan Seniman Kota Surabaya. “Kita semua sepakat bahwa Gombloh itu pahlawan seniman,” ujar Djoko Lelono, yang waktu itu dipercaya sebagai Ketua Solidaritas Seniman Surabaya.


Nah, untuk mengikonkan Gombloh, Djoko (bersama Oto dan Didit) membuat patung Gombloh seberat 200 kilogram terbuat dari perunggu. “Kita garap selama enam bulan. Kita fokus benar untuk menghasilkan karya terbaik demi mengenang almarhum Gombloh,” cerita Djoko Lelono, yang lebih dikenal sebagai pelukis dan penggiat seni rupa itu. Patung itu kemudian dipasang di halaman Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya. “Sengaja di THR karena (dulu) THR itu salah satu pusat aktivitas kesenian di Kota Surabaya. Agar orang tahu bahwa Mas Gombloh itu seniman besar yang pernah dilahirkan Surabaya,” kata Djoko.


Bagi Djoko Lelono, dan para seniman Surabaya, Gombloh itu tak akan bisa hilang dari memori kolektif warga Surabaya, Jawa Timur, bahkan Indonesia. Bahkan, 100 tahun lagi pun Gombloh tetap akan dikenang oleh bangsa Indonesia. “Sebab, begitu orang mendengar atau menyanyikan lagu Kebyar-Kebyar, maka Gombloh akan hadir. Dia benar-benar pahlawan,” tegas Djoko.


Jumat, 20 Juni 2003. Kelompok Pemusik Jalanan Surabaya, komunitas musisi rock Surabaya, serta musisi lain nyekar ke makam Gombloh di Makam Umum Tembok, Surabaya. Mereka menyanyikan dua lagu karya Gombloh yang paling terkenal: Gebyar-Gebyar dan Berita Cuaca (Lestari Alamku). Dari atas makam Gombloh itu, para musisi jalanan menobatkan Gombloh sebagai Pahlawan Musisi Jalanan Surabaya. Menurut Yus, koordinator rock se-Surabaya, acara nyekar ke makam almarhum Gombloh oleh musisi Surabaya ini sangat mengesankan, apalagi Gombloh adalah sosok musisi idealis. "Ide-idenya pun cukup didengar. Dan kami berpikir layak untuk menjaga idealisme Gombloh dalam bermusik," katanya.


Catatan Kaki:


Ada dua lagu Gombloh yang abadi, yaitu: ’Kebyar-Kebyar’ dan ’Hong Wilaheng Sekareng Bawono Langgeng’. Kedua lagu itu bukan saja dikenal secara nasional namun sampai level dunia!


Kedua lagu ini bahkan diteliti pengamat musik yang berpusat di USA untuk dikategorikan sebagai jenis musik apa. Terakhir yang saya baca para pengamat itu belum berhasil memutuskannya, dan kedua lagu tersebut dimasukkan ke dalam museum musik di USA.



- dari berbagi sumber -


Technorati Tags: , , , , , ,

Tidak ada komentar: